quinta-feira, 3 de julho de 2014

Prabowo Subianto Aims to Take Indonesia Back to an Authoritarian Regime?

Politics in Indonesia: Presidential Election 2014, Jokowi vs Prabowo 

With only one more week to go before the Indonesian people will go to the ballot boxes on 9 July 2014 to vote for Indonesia's next leader, speculation and news about the presidential race has become intense. On social media, discussions among Indonesians about the election are intense and emotional. This is exacerbated by the high level of uncertainty with regard to the outcome of the election. Recent surveys indicate that the initial large gap between candidates Joko Widodo (Jokowi) and Prabowo Subianto has nearly vanished.


Black Campaigning of Obor Rakyat

 

Ahead of the election there has been an increase in black campaigning against both presidential candidates. As media in Indonesia are mostly politically connected (privately-owned by politicians or by important players on the political landscape) such campaigning can be expected.


In recent weeks, Indonesian tabloid ‘Obor Rakyat’ published a series of libellous content aimed to hurt the image of Jokowi. For example, the tabloid claimed that Jokowi is not a Muslim but a Chinese Christian. The team of Jokowi reported these false allegations to the National Police of Indonesia (Indonesia contains three laws that deal with libel in the context of the presidential election: the Presidential Election Law, General Criminal Law, and Press Law).

Reportedly, the editor in chief of ‘Obor Rakyat’, Setiyardi Budiono, is an assistant of incumbent President Susilo Bambang Yudhoyono’s special staff for regional development and regional autonomy. However, a spokesman of the president said that Yudhoyono has no connections to the tabloid. A few days ago, the political party of Yudhoyono (Democratic Party, or PD) suddenly decided - and without real reasoning - to support Subianto in his quest to become Indonesia’s next president (previously the party had declared neutrality).


Prabowo Subianto Aims to Take Indonesia Back to an Authoritarian Regime?

 

Since two weeks, news started to spread that Subianto (a former crony of President Suharto who led a +30 years authoritarian regime marked by corruption and suppression) would prefer another authoritarian regime instead of the current system of democracy. These news stories started after award winning American journalist Allan Nairn revealed contents of two off-the-record interviews with Subianto conducted in 2001. In these interviews, Subianto said that “Indonesia is not ready for democracy” but instead needs “a benign authoritarian regime” due to the country’s diversity of religions, ethnicities and cultures. In the interviews Subianto also spoke of his admiration for General Pervez Musharraf, who imposed dictatorship in Pakistan. Subianto continued: “Do I have the guts. Am I ready to be called a fascist dictator? Musharraf had the guts.”

Nairn also revealed that former army general Subianto stated that he was supported by the US intelligence service until Subianto fell out of power after the fall of Suharto in 1998 (when allegedly the USA switched sides and started to support military commander - and Subianto rival - Wiranto). Allegedly, the USA began criticizing Subianto for the latter’s involvement in the abduction, disappearance and presumed deaths of pro-democracy activists in 1998. Ever since, the relationship between Subianto and the USA has been strained (leading to the denying of Subianto to enter the USA).

Tensions between Subianto and the USA grew after current US ambassador to Indonesia Robert O. Blake Jr recently said that the Indonesian government should investigate Subianto’s past, specifically his alleged involvement in human rights violations in Jakarta and East Timor as army leader.

Furthermore, over the weekend, Indonesian media focused on a speech that Subianto gave in Jakarta’s Taman Ismail Marzuki on Saturday in which he confirmed that the system of democracy, particularly direct elections, is a western system that does not match with Indonesian culture. However, in a meeting with foreign ambassadors on Monday (30/07), Subianto stated that he would never undermine Indonesia’s democratic process. However, several analysts are sceptic about Subianto’s words to the ambassadors. Research Director at Saiful Mujani Research and Consulting said, quoted in Indonesian newspaper Jakarta Globe, that “In front of ambassadors and foreigners, of course he will say that he is pro-democracy, because he wants to have good relations with them.”


Wealth of the Candidates

 

It is stipulated by Indonesian law that both presidential and vice presidential candidates have to report their assets to the General Elections Commission (KPU), and which are further verified by the Corruption Eradication Commission (KPK). This law was made in the era of Reformation in order to support transparency and curb corruption. On Tuesday (01/07), these data were released to the public. As expected Subianto is the richest candidate among the four with a total of USD $148 million in wealth (consisting of share ownership in 26 companies, four houses, eight cars, and artworks and antiques). Jokowi, a former furniture entrepreneur, is the least wealthy among the candidates with USD $2.5 million in assets (consisting of 24 houses, 12 cars, and assets in bank accounts). Meanwhile, Subianto’s running mate Hatta Rajasa has a total of USD $2.6 in assets (consisting of 14 houses, securities, jewellery and artworks). Lastly, Jusuf Kalla, a renowned entrepreneur and Jokowi’s running mate, owns USD $40.2 million in assets (consisting of share ownership in 13 companies, 51 property units, four cars and assets in bank accounts).


http://www.indonesia-investments.com

terça-feira, 1 de julho de 2014

Karier Militer Prabowo lancar karena dua faktor permainan kotor dan berkah dari Cendana

Kupang, NTT (30/06/2014). Keberhasilan karier militer Prabowo karena factor external bukan karena procedural dinas ketentaraan Prabowo sendiri. Faktor external yang mendongkrak kenaikan pangat luar biasa Prabowo adalah:
  1. Permainan kotor atau siasat Prabowo sendiri 
  2. Fator relasi dengan Cendana
I. Permainan dan siasat yang dilancarkan oleh Prabowo Subianto dalam medan tempur maupun permainan inteligency.

Antara lain:

Peristiwa Kraras yang lebih dikenal dengan kampung Janda, terjadi pada tahun 1983, ketika itu Prabowo baru berpangkat Kapten. Waktu itu sedang berlangsung kontak Damai antara TNI dibawah pimpinan DANREM 164 Wira Dharma, Kolonel Gatot Purwanto dan pimpinan Gerilya dibwah pimpinan Kay Rala Xanana Gusmao. Proses perdamaian gagal karena peristiwa Kraras, yang menurut Kolonel Gatot Purwanto merupakan sabotase dari Kapten Prabowo Subianto karena dialah yang merancang estrategi tersebut. Belakangan penelitian beberapa pihak yang menjurus ke Prabowo adalah dalang segalanya.

Menurut Gatot Purwanto kepada Ir. Mario Carrascalao mantan Gubernur Tim-Tim, ”apa yang saya takutkan udah akan terjadi, karena kapten Prabowo Subianto sudah masuk ke Kraras Viqueque dan sudah kembali ke Jakarta. Setiap orang yang masuk ke sini, entah sipil atau militer harus dengan sepengetahaun saya”. Tapi Prabowo datang dan sudah pergi ke Jakarta, apa yang dilakukan oleh dia, pengakuan Gatot Purwanto yang diceritakan dalam buku Mario Carrascalao.

Pengakuan Kolonel Gatot Purwanto pada bulan Abril tahun 1983 dan peristiwa Kraras Viqueque pada akhir bulan Agustus. Bayangkan licik dan cerdiknya seorang Prabowo dalam merancang semua kejadian tersebut.

Tujuan utama adalah menghindari opsi dialogue melalui proses perdamaian, penyelesaian masalah lewat tempur atau jalur militer. Prabowo memilih jalur militer dalam penyelesaian permasalahan Tim-Tim. Akibat dari peristiwa Kraras Prabowo mulai menggagalkan proses perdamaian dan membuka jalan bagi penyelesain secara militer. Pembantaian terhadap warga sipil pun tak terhindarkan.

Tujuan lain adalah Prabowo mempersiapkan diri untuk kariernya dan menghambat para perwira yang identik dengan Jenderal L. B. Murdani yang saat itu sedang menduduki jabatan penting seperti Panglima ABRI/TNI.

Isu KUDETA dari L. B. Murdani merupakan rekayasa dari Prabowo Subianto, walaupun saat itu masih berpangkat Maiyor dan sebagai wakil Komandan Densu 81 pimpinan Luhut Panjaitang. Kapten aja udah berani melawang pimpinan pucuk ABRI/TNI.

Pembantaian Santa Cruz tahun 1991, Prabowo juga dikaitkan dengan peristiwa berdarah tersebut yang menewaskan ribuan warga Cipil.

Menurut beberapa saksi mata, Prabowo berada di Dili . Prabowo bersama coleganya Syarief Syamsudin mulai mengumpulkan tentara dari satuan 744 dan 303 di Taibesi Dili, dua minggu sebelum peristiwa Santa Cruz.

Menurut kesaksian Kolonel Gatot yang pada kejadian tragis tersebut menduduki jabatan sebagai Komandan SGI (Sat Gaz Intel ) Pangkolokops Tim-Tim, ”sebenarnya Syarief Syamsudin masa jabatan dinas udah berakhir, tapi tanpa sepengetahuan saya sebagai komandan, masa berkontak dengan satuan tempur yang baru habis masa operasi dan menunggu waktu untuk back to basic”.

Menurut Sintong Panjaitang, mantan Pangdam Udayana, ”santa Cruz tujuannya untuk menjatuhkan dia dan para prewira yang ada hubungan dengan Jenderal L.B. Murdani.

Persaingan ketat untuk merebut kursi KASAD menggantikan Jenderal Edy sudrajat, antara Wismoyo Arrismunandar dan Sintong Panjaitang.

Dengan Santa Cruz singkirlah Sintong dan jalan mulus bagi Wismoyo Arismunandar. Dengan demikian persiapan karier militer Prabowo Subianto akan mulus.

Dan setelah laporam DKM (Dewan Kehormatan Militer) pimpinan Mayjen Faijal Tanjung, Sintong di geser dari jabatan militer. Dengan Faijal Tanjung mennduduki posisi estrategis di Mabes ABRI dan menjadi Panglima ABRI/TNI persiapan jalan mulus bagi kepemimpinan dan karier militer seorang Prabowo Subieanto.

Suskses Batalyon Kostrad 328 di Tim-Tim dan kenaikan pangkat luar biasa dari Maiyor ke Kolonel. Hal tersebut telah dibeberkan oleh Made Supriatma di Indoprogress.com (01/07/2014). Prabowo membunuh sesama prajurit TNI, demi kenaikan pangkat luar biasa.

II. Hubungan dengan Cendana: Karier militer yang dinilai cukup mulus dan berprestasi, merupakan kaitan dengan hubungan dekat dengan keluarga Cendana. Prabowo berhasil mengambil kesempatan sebagai menantunya Pak Harto.

Karena Pak Harto yang punya latarbelakang Militer, sedangkan dalam keluarga putra2nya ngak ada yg berniat menekuni karier Militer. Harapan Pak Harto jatuh pada Prabowo yang juga menantunya. Yang juga dipikirkan Pak Hartp, cuman Prabowo menduduki jabatan teras di TNI/ABRI yang bias melindungi keluarga Cendana.

Kesimpulan:

Kenaikan pangkat luar biasa dan karier Militer Prabowo yang brelian di karenakan atau diuntungkan dengan dua factor:

Pertama, Menghalalkan segala cara demi karier militernya, bahkan membunuh sesama anggota TNI (baca: Made Supriatma, Indoprogress.com).

Kedua, Prabowo juga diuntungkan karena hubungannya dengan keluarga Cendana. Dalam dialogue antara Ir. Mario Carrascalao dan Panglima ABRI/TNI Tri Sutrisno, ”Tahun 1990, Gubernur Timor Timur Mário Viegas Carrascalão, meminta Panglima ABRI Jendral Tri Sutrisno untuk menarik Mayor Prabowo Subianto dan pasukannya dari Timor Timur. Namun Tri Sutrisno menolak. Ada apa? (Indoprogress.com, 01/07/2014)”.

Bayangkan seorangan Panglima ABRI/TNI pun nga berani mengambil tindakan terhadap Prabowo.

Kupang, 02.07.2014

segunda-feira, 30 de junho de 2014

Why Washington May Prefer Joko Widodo Over Prabowo Subianto

By Aleksius Jemadu on 07:26 pm Jun 29, 2014
http://www.thejakartaglobe.com/opinion/washington-may-prefer-joko-widodo-prabowo-subianto

With its national interests spread all around the globe, it is almost impossible for the United States to be indifferent about the eventuality of general elections anywhere in the world, especially in those places where strategic interests are at stake. When the US ambassador to Indonesia, Robert O. Blake, was asked a few months ago how the US would respond to the presidential elections here, he said that his country would respect the choice of the Indonesian people.

Recently, people got surprised because the ambassador made an explicit statement in an e-mail to The Wall Street Journal, saying that his government was concerned about allegations of human rights abuses and urged the Indonesian government to fully investigate the claims. Such a statement was perceived to be an indirect rejection of Prabowo Subianto and a tacit endorsement of Joko Widodo. What may have led the US envoy to give a hint about candidate of preference?

US foreign policy towards the Asia-Pacific under President Barack Obama has been very much characterized by a combination of an aggressive economic policy to take advantage of the rise of the middle class in this region and the consolidation of bilateral relationships with its traditional allies in order to counterbalance the spread of the so-called Beijing Consensus. China has always been ready to provide huge economic assistance in order to allure developing countries in Asia into its sphere of influence. For instance, in 2012 under China’s pressure Cambodia was forced to prevent the Asean Summit from criticizing its unilateral claims of territories in South China Sea. Recently, China has also forced its way to set up oil rigs in a disputed part of the South China Sea.

It goes without saying that over the last decade, under President Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia has served as a strategic partner for the US in many respects. The success of Indonesia’s democratic consolidation, with its political stability and its constructive role in the region, have made Washington feel comfortable. The Americans want the continuity of this state of affairs under the next administration.

It is quite evident that the US government wants to make sure that the new president is not going to introduce new economic regulations that might jeopardize American business interests in this country. Considering the fact that Indonesia has a good prospect of economic growth in the coming years, the US will continue to persuade Jakarta to join a high-standard trade pact called Trans-Pacific Partnership, which may serve as the main US vehicle to increase its economic appropriation in the Asia Pacific.

Thus, the most important question for the US is: which of these two presidential hopefuls will provide the highest likelihood that Yudhoyono’s friendly policies towards foreign corporations will be continued?

Despite the fact that both the presidential hopefuls emphasize the importance of economic independence in their vision and mission, over the last few days Prabowo has tended to speak in a tone of economic nationalism that can be interpreted as being unfriendly towards the presence of major foreign corporations in Indonesia. There is an implicit accusation that they have overexploited Indonesian natural resources and destroyed the natural and social environment along the way. On top of that, the fact that Prabowo once told the American investigative journalist Allan Nairn that he was in favor of “a benign authoritarian regime” has created a legitimate suspicion that he might not be really democratic at heart.

Although Joko has his own brand of economic nationalism, there are at least two reasons why he appears to be more acceptable to the US and the global market in general.

First, unlike Prabowo, who has a troubled track record related to past human rights violations, with his trouble-free background Joko is more likely to revitalize Indonesia’s democracy by adding the most desired element of good governance. By combining a robust democracy and good governance, foreign investors will be more certain about their profits and legal protection.

Second, the US government will surely welcome one important element in Joko’s foreign policy by which he wants to propose Indonesia’s expanded role in the wider Indo-Pacific region. Indonesia’s positive contribution to the stability of the region may counterbalance China’s increasing tendency to curb freedom of navigation both in the South China Sea and the East China Sea.

If the above analysis about the US government’s standpoint regarding Indonesia’s presidential election is valid, then the ambassador’s e-mail message is more than just a normative complaint about past human rights violations.

Aleksius Jemadu is dean of the School of Government and Global Affairs at Universitas Pelita Harapan, Karawaci.

sexta-feira, 27 de junho de 2014

Jurnalis Allan Nairn Tantang Prabowo

Allan Nairn vs Prabowo Subianto
TEMPO.CO, Jakarta - Wartawan investigasi asal Amerika, Allan Nairn, menantang calon presiden Prabowo Subianto untuk menangkap dirinya. Seperti ditulis dalam blog pribadinya, Allan saat ini mengaku sedang berada di Indonesia. ”Jika TNI ingin menangkap saya, mereka bisa melakukannya,” tulis Allan dalam situs pribadinya, www.allannairn.org, yang baru saja di-posting, Jumat, 27 Juni 2014.

Allan kesal lantaran dalam kampanyenya, Prabowo menyatakan bahwa TNI siap menangkap dirinya. Apalagi sejak Koordinator Prabowo Media Center, Budi Purnomo Karjodihardjo, menyatakan bahwa Allan merupakan orang yang berbahaya, bahkan tercatat tujuh kali masuk ke Indonesia secara ilegal. ”Jika Jenderal Prabowo ingin saya ditangkap karena apa yang telah saya tulis tentang dirinya, saya minta dia menyatakannya sendiri, bukan lewat juru bicara,” kata Allan menegaskan.  (Baca lanjutannya disini >> )

Berita terkait:


Sumber: TEMPO.CO

terça-feira, 24 de junho de 2014

Kerusuhan paska Referendum Timor-Timur: Prabowo adalah salah satu aktor intelektualnya

Kupang, NTT(24/06/2014). Kerusuhan paska Referendum di Timor-Timur (Sekarang Timor-Leste) Prabowo adalah salah satu aktor intelektual, pernyataan tersebut disampaikan oleh Frans Pinto, salah satu tokoh PPI (Persatuan Pejuang Integrasi ) di Naibonat, Kupang, NTT, hari Selasa (24/06/2014).

Pernyataan Frans Pinto tersebut berkaitan dengan pernyataan Maijen (Pur) Suryo Prabowo yang menuding Mantan Menghankam/Pangab Jenderal (Pur) Wirianto yang memerintahkan pembumi hanggusan Timor-Timur paska Referendum, TVOne  (17/06/2014).

Langjut Frans Pinto, ”Prabowo sejak lama membentuk barisan relawang membela integrasi melalui pebentukan tim Melati dan Gadapaksi”.

“Operasi Tim Melati yang bergerak menyebarkan teror dan massa tandingan merupakan cetusan Prabowo Subianto”.

“Gadapaksi merupakan kelompok milisi yang dibentuk atasan ide nya Prabowo dan di jalankan oleh para pengikut Prabowo di Tim-Tim. Dari kelompok Gadapaksilah merupakan embrio lahirnya kelompok milisi yang mengunaikan teror sebelum dan sesudah Referendum”, jelas Frans Pinto yang pernah anggota Gadapkasi cetusan Prabowo di Viquque.

Setelah pengumuman opsi ke-2 oleh Presiden B. J. Habibie  pada tanggal 27 Januari tahun 1999, maka muncullah gerakan Milisi yang pembentukan embrionya dari massa Gadapaksi dan Tim Melati produk Prabowo Subieanto, argument Frans Pinto.

Di tempat lain, tanggapan oleh salah satu mantan anggota Tim Melati Saturnino Guterres, ”setelah Prabowo di pecat dari Pangkostrad,” selama dua minggu Prabowo terbang dengan Heli  ke Betano dan Jaco, disitu dia merancang operasi Intelegency bersama Zaky Anwar Makarin untuk menghadapi situasai politika di Indonesia dan kemungkinan akan terjadi di Tim-Tim. Memperkuat kekuatan Gadapaksi dan Tim Melati”.

Keterlibatan dan kenangan Prabowo di Timor-Timur dalam beberapa peristiwa seperti: pertistiwa Kraras di Viqueque pada tahun 1983, pembantain Santa Cruz pada tahun 1991 dan sebagai salah sata aktor dalam operasi pembumi hanggusan paska Referendum yang memberikan kemenangan kepada kelompok Pro-Kemerdekaan!

sábado, 21 de junho de 2014

Kisah Rivalitas Jenderal Wiranto vs Letjen Prabowo Versi Gerindra

Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) buka-bukaan soal keterlibatan mantan Pangkostrad Letjen (Purn) Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis sehingga diberhentikan oleh DKP. Kubu Prabowo yang menepis semua serangan Wiranto lantas mengungkap kisah rivalitas dua petinggi TNI itu.

"Wiranto dari dulu tak pernah suka Prabowo. Ia iri karena karier militer Prabowo bagus dan disukai para prajurit," kata Waketum Gerindra Fadli Zon, lewat akun twitternya, Jumat (20/6/2014).

Meskipun menantu Presiden Soeharto, menurut Fadli, Prabowo tetap ikut di frontline di Timor Timur (sekarang Timor Leste). "Letjen Purn Yunus Yosfiah mantan komandan Prabowo mengakui keberaniannya di medan tempur," ungkap Fadli.

Sementara itu Wiranto, Fadli membandingkan, tak dikenal sebagai orang tempur. Wiranto meniti karier biasa dan melambung kariernya setelah menjadi ajudan Presiden Soeharto.

"Ada 'rivalitas' dan iri Wiranto pada Prabowo. Khususnya di mata para prajurit, Prabowo harum. Selalu perhatikan prajurit-prajuritnya," kata Fadli.

Meski Wiranto sudah menegaskan tak ada persaingan dengan Prabowo, namun menurut Fadli, Prabowo dianggap saingan oleh Wiranto. Walaupun pangkatnya beda satu bintang, menuru Fadli, Wiranto membuat manuver politik menjelang Pak Harto lengser.

Setelah Presiden Soeharto lengser, Habibie menjadi Presiden RI ketiga pada 21 Mei 1998. Prabowo pun datang untuk mengucapkan selamat ditemani Muchdi PR.

 "Pertemuan dengan Presiden Habibie hangat dan bagus. Eh sekitar 30 menit kemudian Wiranto datang ke rumah Habibie setelah Prabowo pulang. Wiranto bilang ke Presiden Habibie bahwa rumahnya dikepung pasukan tak dikenal. Habibie ketakutan dan pindah ke Wisma Negara," katanya.

"Padahal pasukan itu adalah Kopassus yang jaga Presiden baru. Karena Pak Harto sudah tak jadi Presiden maka sebagian penjaga diarahkan ke Presiden baru. Inilah fitnah Wiranto terhadap Pramono dan Kopassus. Luar biasa liciknya. Habibie termakan fitnah ini," keluh Fadli.

Esok harinya, Prabowo digeser menjadi Dansesko ABRI di Bandung. Lalu setelah itu ada DKP atas inisiatif Wiranto.

"Wiranto belum puas sampai Prabowo diberhentikan. DKP adalah alat politik Wiranto dalam menyingkirkan Prabowo. DKP tak punya hak penyidikan/penyelidikan. Ini hanya proses internal. Dan jelas manuver politik Wiranto semata," katanya.

Menurut Fadli, dibukanya berkas rekomendasi DKP adalah serangan ke Prabowo. Sebagai alat politik untuk menjatuhkan Prabowo yang diberhentikan terhormat oleh Keppres yang dikeluarkan BJ Habibie.

"Kini setelah 16 tahun, DKP mau dipakai lagi seolah-olah sebagai kebenaran. Padahal alat politik yang tak ada dasar hukumnya. Keppres jauh lebih kuat," pungkasnya.

Sumber: www.detik.com
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/20/114714/2614105/1562/2/kisah-rivalitas-jenderal-wiranto-vs-letjen-prabowo-versi-gerindra

quinta-feira, 19 de junho de 2014

Prabowo soal Pelanggaran HAM pada tahun 1998

Dalam debat Capres/Cawapres yang digelar oleh KPU dan disiarkan langsung oleh SCTV pada hari Senin,tanggal 09 Juni tahun 2014, kandidat Cawapres JK menyanyakan soal pelanggaran  HAM. Jawab Prabowo,“ Soal pelanggaran HAM ,atasan saya yang bisa nilai saya, sebagai Prajurit hanya menjalankan tugas  (SCTV, 09/06/2014)”. Sepuluh hari kemudian Wiranto mantan Panglima ABRI,atasan Prabowo pada saat penculikan menyatakan: ‘’ Prabowo terlibat penculikan aktivis pada tahun 1998 (kompas.com, 19/06/2014)’’. Tulis Harian Kompas,”Wiranto penculikan Iniciatif Prabowo sendiri (20/06/2014)’’

Saat itu Prabowo sebagain Danjen Kopassus dan Pangkostrad dan Wiranto sebagai Panglima ABRI/TNI.  Wiranto adalah atasannya Prabowo , menurut Wiranto Prabowo memang benar terlibat dalam penculikan aktivis. Menurut Prabowo biar atasan saya yang menilai, “saya langgar HAM atau tidak”.

Menurut  Tempo dalam menulis tentang  pernyataan Prabowo,"Menanggapi pertanyaan Kalla, Prabowo menegaskan bahwa dalam sekian puluh tahun, ia telah menjadi abdi negara dan melaksanakan tugas untuk menjaga dan menjunjung tinggi hak asasi manusia warga Indonesia. "Saya sekian puluh tahun menjadi abdi negara, membela hak asasi manusia. Saya mencegah kelompok radikal yang mengancam hak hidup orang yang tidak bersalah. Jadi saya menghadapi perakit bom, huru-hara karena merupakan kewajiban saya untuk melindungi warga (Tempo, 09/06/2014)".

Semua udah jelas,atasannya  Prabowo sudah membeberkan bahwa Prabowo memang benar terlibat dalam penculikan dan kerusuhan pada Mei tahun 1998. Dalam keputusan Dewan Kehormatan Militer (DKM),  yang dipublikasikan oleh media jaringan social seperti Facebook dan Twiter,tindakan Prabowo menurut DKM “melanggar aturan baik itu Sapta Marga prajurit, maupun UU”. Lanjut,” ulah Prabowo mencoreng nama baik satuan Kopassus, ABRI/TNI, Negara dan Bangsa”. 

Kini semua udah terbuka dan tinggal rakyat Indonesia yang memiliki hak untuk menentukan, siapa Presidente yang layak, bersih dari sejak masa lalu, berwibawa dan mengabdi demi bangsa dan Negara RI!